Makalah Peminangan (Khitbah) dan Khalwat

DOWNLOAD FULL TEXT
PDF / WORD













BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Manusia diciptakan oleh Allah SWT sebagai makhluk yang paling mulia, ia bukanlah sesosok makhluk yang sekedar memiliki jasad/organisme hidup, sehingga kehidupan yang dijalaninya pun bukan sekedar untuk tujuan memperoleh makan, tumbuh, berkembang-biak, lalu mati. Manusia diciptakan ke alam dunia ini disertai pula dengan berbagai potensi kehidupan yang diberikan oleh-Nya. Berbagai potensi kehidupan tersebut harus merupakan sesuatu yang disadari/difikirkan oleh manusia. Di antara potensi kehidupan tersebut adalah berupa naluri-naluri (gharaizh) yang di antaranya pula adalah naluri untuk melestarikan keturunan ataupun tertarik kepada lawan jenis (gharizatu nawu).Naluri ini merupakan dorongan yang muncul pada diri manusia ketika adanya stimulan dari luar.

Islam memandang ini sebagai hal yang fitrah (manusiawi) dan bukan hal yang tabu ataupun terlarang. Oleh karenanya dalam rangka menempatkan manusia agar tetap pada derajatnya sebagai makhluk yang mulia, maka Allah SWT menurunkan seperangkat aturan kehidupan yang harus diambil dan dijalankan oleh umat manusia yaitu Syari’at islam yang dibawa oleh Rasulullah Saw, termasuk di dalamnya tercakup aturan untuk menyelesaikan masalah yang satu ini. Di antaranya adalah pengaturan mengenai khitbah (meminang) sebagai aktivitas syar’i yang harus dipilih oleh seorang muslim.


B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, penulis menyimpulkan beberapa rumusan masalah, sebagai berikut:

1. Apakah yang dimaksud dengan definisi, syarat-syarat, hantaran, dan akibat pembatalan peminangan?
2. Apakah yang dimaksud dengan masalah aurat dan anggota tubuh yang boleh dilihat oleh lawan jenis?
3. Apakah yang dimaksud dengan khalwat?



BAB II

PEMBAHASAN


A. Definisi, Syarat-syarat, Hantaran, dan Akibat Pembatalan Peminangan

Definisi

Peminangan berasal dari kata “pinang” dengan kata kerja meminang. Sinonim meminang adalah melamar yang dalam bahasa Arab disebut dengan khitbah. Kata "khitbah" ini merupakan bentuk masdar dari kata خطب yang berarti meminang atau melamar.[1] Sementara untuk pengertian istilah sebagai berikut:

1. Dalam Ensiklopedi Islam Indonesia dijelaskan bahwa khitbah artinya lamaran atau pinangan, yaitu lamaran seorang laki-laki yang hendak memperistri seorang perempuan, baik perempuan itu masih gadis atau sudah janda. Dalam hal ini pinangan bisa dilakukan oleh pihak laki-laki maupun wanita sesuai dengan adat yang berlaku pada masyarakat atau lingkungan mereka tinggal.[2]

2. Ulama Kontemporer, Wahbah az-Zuhailiy mengatakan bahwa khitbah adalah pernyataan keinginan dari seorang lelaki untuk menikah dengan wanita tertentu, lalu pihak wanita memberitahukan hal tersebut pada walinya. Adakalanya pernyataan keinginan tersebut disampaikan dengan bahasa jelas dan tegas (sharih) atau dapat juga dilakukan dengan sindiran (kinayah).[3]

3. Menurut Sayyid Sabiq, meminang dimaksudkan sebagai permintaan seorang laki-laki kepada wanita, untuk diperkenankan dipilih menjadi seorang istri bagi pihak yang meminta dengan tradisi umum yang berlaku ditengah-tengah masyarakat.[4]

4. Menurut Abu Zahrah, khitbah adalah permohonan seorang laki-laki atas kesediaan seorang wanita tertentu untuk diperistri, yang diajukan kepada wanitaitu sendiri atau kepada kuasanya (wali) dengan penjelasan-penjelasan yang dimaksud.[5]

Dasar Hukum

Sungguh Islam menjadikan khitbah sebagai perantara untuk mengetahui sifat-sifat perempuan yang dicintai, yang laki-laki menjadi tenang terhadapnya, dengan orang yang diinginkannya sebagai suami baginya sehingga menuju pelaksanaan pernikahan. Ia seorang yang menyenangkan untuk ketinggian istrinya secara indrawi dan maknawi sehingga tidak menyusahkan hidupnya dan mengeruhkan kehidupannya.

Sedangkan di dalam al-Qur’an juga disebutkan:


ولاجناح عليكم فيما عرَضتم به من خطبة النساء اوكنتم فى انفسكم علم الله انكم ستذكرونهن ولكن لاتواعدوهن سرا الا ان تقولوا قولا معروفا ولاتعزموا عقدة النكاح حتى يبلغ الكتاب اجله واعلموا ان الله يعلم ما فى انفسكم فاحذروه واعلموا ان الله غفور حليم (البقرة: ٢٣٥ )


Artinya: “Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, oleh karena itu janganlah kamu mengadakan janji nikah dengan mereka dengan secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan kepada mereka perkataan yang ma’ruf. Dan janganlah kamu ber’azam (bertetap hati) untuk berakad nikah, sebelum habis iddahnya. Dan ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu, maka takutlah kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun”.[6]


Sabda Rasulullah SAW:

لا يخطب احدآم على خطبة اخيه, حتى يترك الخاطب قبله اويأذن له (متفق عليه(

Artinya: “Tidak diperbolehkan seseorang meminang pinangan saudaranya sehingga peminang sebelumnya meninggalkan pinangannya atau peminang sebelum mengizinkannya”.[7]

Hadits di atas menjelaskan bahwa, setelah terjadi peminangan dan mereka resmi bertunangan, maka hukumnya haram bagi laki-laki lain untuk meminangnya. Tetapi, jika peminangan tersebut masih dalam tingkat musyawarah antara menerima dan menolak dari pihak wanita, maka diantara ulama’ fiqh terjadi perbedaan. Imam Hanafi makruh meminangnya.[8] Sedangkan Ibnu Hazm membolehkan meminang wanita tersebut.[9] Lain halnya kedua pendapat tersebut Sayid Sabiq berpendapat haram meminang wanita yang sedang dipinang orang lain.[10]

Meskipun peminangan atau khitbah banyak disinggung dalam al-Qur’an maupun hadis Rasulullah SAW, akan tetapi tidak ditemukan secara jelas perintah atau larangan untuk melakukan khitbah. Oleh karenanya tidak ada ulama yang menghukumi khitbah sebagai sesuatu yang wajib.[11]

Sedangkan khitbah (peminangan) menurut Imam Syafi’i dan Hanafi mengatakan bahwa, hukumnya adalah sunah, sebagaimana mengadakan pengumuman aqad nikah.[12] Akan tetapi Daud Al-Dhahiri dengan menukil pendapat imam Daud Al-Zhahiriy, mengatakan bahwa hukum pinangan adalah wajib. Ulama ini mendasarkan pendapatnya pada hadis-hadis nabi yang menggambarkan bahwa pinangan (khitbah) ini merupakan perbuatan dan tradisi yang dilakukan nabi dalam peminangan.[13]

Di kalangan asy-Syafi’iyah, meminang itu dianjurkan sebab Nabi telah melakukannya. Nabi telah meminang Aisyah binti Abu Bakar, dan juga meminang Hafshah binti Umar. Sebagaimana kaidah ushul fiqh yang berbunyi:

الأ صل فى الأ مر للو جو ب و لا تد ل على غیر ه الا بقر ینة

Artinya: “pada dasarnya amar (perintah) itu menunjukkan (arti) wajib, dan tidak menunjukkan kepada (arti) selain wajib kecuali terdapat qarinah-Nya.”[14]

Syarat-syarat

Syarat-syarat meminang ada dua macam, yaitu:[15]

1. Syarat mustahsinah,

Syarat mustahsinah adalah syarat yang merupakan anjuran pada laki-laki yang hendak meminang agar meneliti wanita yang akan dipinangnya sebelum melangsungkan peminangan. Syarat mustahsinah tidak wajib untuk dipenuhi, hanya bersifat anjuran dan baik untuk dilaksanakan. Sehingga tanpa adanya syarat ini, hukum peminangan tetap sah. Syarat-syarat mustahsinah tersebut adalah:

a. Wanita yang dipinang hendaknya sekufu atau sejajar dengan laki-laki yang meminang. Misalnya sama tingkat keilmuannya, status sosial, dan kekayaan.

b. Meminang wanita yang memiliki sifat kasih sayang dan peranak.

c. Meminang wanita yang jauh hubungan kekerabatannya dengan lelaki yang meminang. Dalam hal ini sayyidina ‘Umar bin Khattab mengatakan bahwa perkawinan antara seorang lelaki dan wanita yang dekat hubungan darahnya akan melemahkan jasmani dan rohani keturunannya.

d. Mengetahui keadaan jasmani, akhlak, dan keadaan-keadaan lainnya yang dimiliki oleh wanita yang akan dipinang.

2. Syarat lazimah

Syarat lazimah ialah syarat yang wajib dipenuhi sebelum peminangan dilakukan. Sah tidaknya peminangan tergantung pada adanya syarat-syarat lazimah. Syarat-syarat tersebut adalah:

a. Tidak berada dalam ikatan perkawinan sekalipun telah lama ditinggalkan oleh suaminya.

b. Tidak diharamkan untuk menikah secara syara’. Baik keharaman itu disebabkan oleh mahram mu’abbad, seperti saudari kandung dan bibi, maupun mahram mu’aqqat (mahram sementara) seperti saudari ipar. Adapun penjelasan tentang wanita-wanita yang haram dinikahi terdapat dalam firman Allah surat an-Nisa’ ayat 22-23.

c. Tidak sedang dalam masa iddah. Ulama sepakat atas keharaman meminang atau berjanji untuk menikah secara jelas (sarih) kepada wanita yang sedang dalam masa iddah, baik iddah karena kematian suami maupun iddah karena terjadi talaq raj’iy maupun ba’in. Allah SWT. berfirman dalam surat al-Baqarah ayat 235:



H a n t a r a n

Salah satu pihak dalam peminangan terkadang memberikan sesuatu pada pihak lainnya. Ulama sepakat jika pemberian tersebut berupa mahar, maka peminang boleh meminta mahar itu secara mutlak, baik pemutusan pinangan tersebut dari pihak wanita, laki-laki, maupun kedua belah pihak. Wanita tidak bisa memiliki mahar selama akad belum dilaksanakan secara sempurna sehingga peminang boleh memintanya kembali dalam segala kondisi.

a. Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa hadiah yang diberikan dalam peminangan hukumnya sama dengan hibah. Peminang dapat menarik kembali kecuali barang tersebut sudah rusak atau tidak ada.

b. Ulama Syafi’iyah menyatakan bahwa hadiah wajib dikembalikan jika barangnya masih ada, atau dikembalikan persamaan atau harganya jika barangnya telah rusak atau lebur, baik pemutusan pinangan itu berasal dari pihak wanita maupun dari pihak lelaki.

c. Ulama Malikiyah berpendapat bahwa pihak yang memutuskan tidak boleh meminta kembali pemberiannya, baik barangnya masih ada maupun sudah tidak ada. Pihak yang berhak meminta barangnya adalah pihak yang tidak menggagalkan pinangan. Dia berhak menerima barangnya jika masih ada, atau menerima harganya jika barang pemberiannya sudah tidak ada.



Akibat Pembatalan Peminangan

Putusnya peminangan terjadi sebab pembatalan dari salah satu pihak atau kesepakatan di antara keduanya. Peminangan juga usai jika salah satu pasangan ada yang meninggal dunia. Apabila seorang perempuan membatalkan pinangan karena ada lelaki lain yang meminangnya, lalu ia menikah dengan peminang kedua, maka perbuatan wanita tersebut haram namun pernikahannya tetap sah.

Peminangan juga termasuk komitmen atau janji untuk melakukan akad, oleh karena itu membatalkan peminangan makruh menurut mayoritas ulama’ dan haram menurut sebagian lainnya. Wali atau tunangan yang menarik kembali janjinya tanpa suatu alasan yang jelas hukumnya makruh, namun tidak sampai haram. Perumpamaannya adalah seperti seorang pembeli yang telah menawar barang namun tidak jadi membelinya. Seorang peminang juga makruh untuk membatalkan peminangan jika wanita tersebut telah tertarik pada dirinya. Ada beberapa pendapat ulama:

1. Menurut golongan Syafi’iyah dan Hanbali, haram meminang wanita yang masih dalam pinangan orang lain adalah apabila telah tegas diterima pinangan itu oleh si wanita, atau walinya yang berhak menerima pinangan, kalau ditolak tentulah tiada haram.[16]

2. Menurut Ibnu Rusyd, dalam kitab Bidayatul Mujtahid jilid 2, berpendapat boleh meminang wanita yang sedang dalam pinangan orang lain, asalkan laki-laki tersebut tidak fasik dan sama-sama suka.[17]

3. Sayyid Sabiq mengemukakan antara lain tentang pengertian peminangan, khususnya dampak peminangan di atas pinangan orang lain. Menurut Sabiq, hukumnya haram, karena menimbulkan persaiangan atau permusuhan diantara dua laki-laki yang meminang.[18]

Dalam perjanjian akad nikah (khitbah) tidak harus dipenuhi, karena penetapan janji ini menuntut keberlangsungan akad nikah bagi orang yang tidak ada kerelaan. Hakim pun tidak berhak memutuskan pemaksaan pada akad yang kritis ini.[19]



B. Masalah Aurat dan Anggota Tubuh yang Boleh Dilihat oleh Lawan Jenis

Hal yang diperbolehkan bahkan disunahkan dalam khitbah adalah melihat wanita yang di-khitbah. Ada dua jenis melihat wanita yang di-khitbah, yaitu:

1. Mengirim utusan untuk melihat keadaan wanita itu, baik sifat, kebiasaan, akhlak, maupun penampilannya. Berdasarkan hadits Rasulullah dalam riwayat Anas bin Malik yang artinya: “Rasulullah saw. mengirim Ummu Sulaym kepada seorang wanita, lalu Rasulullah memerintahkan untuk memperhatikan pundak, leher, dan bau wanita tersebut”

2. Melihat pinangan secara langsung. Berdasarkan hadits dari Jabir bin ‘Abdillah r.a:

Artinya: “Dari Abi Hurayrah: Seorang lelaki meminang seorang wanita, lalu Rasulullah saw. bersabda: Lihatlah wanita tersebut, sesungguhnya pada mata orang-orang anshar terdapat sesuatu”.

Sekalipun ulama telah sepakat tentang kebolehan melihat wanita yang dipinang, tetapi mereka memberi batasan terhadap apa saja yang boleh dilihat. Ulama berbeda pendapat dalam menentukan batasan yang boleh dilihat, yaitu:

a. Mayoritas ulama berpendapat bahwa yang boleh dilihat adalah wajah dan kedua telapak tangan.

b. Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa bagian yang boleh dilihat adalah wajah, telapak tangan, dan kaki.

c. ‘Abdurrahman al-Awzai berpendapat bahwa boleh melihat daerah-daerah yang berdaging.

d. Imam Daud az-Zahiri berpendapat bahwa seluruh badan wanita yang dipinang boleh dilihat.

e. Menurut ulama Mazhab Hanbali bagian yang boleh dilihat terdapat pada 6 tempat, yaitu muka, pundak, kedua telapak tangan, kedua kaki, kepala (leher) dan betis.

Perbedaan pendapat di antara ahli fikih ini terjadi karena hadis yang menjadi dasar kebolehan melihat pinangan hanya membolehkan secara mutlak, tanpa menentukan anggota tubuh mana yang boleh dilihat. Ulama fikih sepakat bahwa kebolehan melihat pinangan tidak hanya berlaku pada lelaki saja, akan tetapi wanita juga boleh melihat lelaki yang meminangnya.

Waktu melihat kepada perempuan yang hendak dipinang adalah ketika hendak menyampaikan pinangan, bukan setelah menyampaikan pinangan. Karena jika ia telah melihat perempuan tersebut sebelum pinangan disampaikan, ia dapat meninggalkan perempuan itu tanpa menyakitinya jika ternyata ia tidak suka pada perempuan itu setelah melihatnya.



C. K h a l w a t

Pengertian

Menurut bahasa, kata khalwat berasal dari bahasa Arab yaitu khulwah dari akar kata khalā-yakhlū yang berarti “sunyi” atau “sepi”. Sedangkan menurut istilah, khalwat adalah keadaan seseorang yang menyendiri dan jauh dari pandangan orang lain.

Dalam istilah ini khalwat berkonotasi positif dan negatif. Dalam makna positif, khalwat adalah menarik diri dari keramaian dan menyepi untuk mendekatkan diri kepada Allah. Sedangkan dalam arti negatif, khalwat berarti perbuatan berdua-duaan di tempat sunyi atau terhindar dari pandangan orang lain antara seorang pria dan seorang wanita yang tidak diikat dengan hubungan perkawinan, keduanya bukan pula mahram[20] (Mahram artinya yang dilarang, sedangkan menurut istilah adalah wanita yang haram dikawini seorang laki-laki baik bersifat selamanya atau sementara).[21] Makna khalwat yang dimaksud dalam kajian ini adalah makna yang kedua.

Khalwat Menurut Pandangan Ulama

Menurut al-Bustani (1965), khalwat berasal daripada perkataan Arab yang membawa maksud berseorangan, kosong, bersih, sesuatu yang lepas dan lain-lain lagi. Dari sudut istilah, al-Shartibi (t.th) mentakrifkannya sebagai berseorangan atau menenangkan pikiran daripada pelbagai hal dengan mengingati Allah semata-mata sementara Ibn ‘Abidin (1996) menyatakan bahwa Imam as-Syafii, Maliki, Hanbali dan Hanafi merujuk khalwat sebagai perhubungan suami yang bersekedudukan dengan istrinya sama ada hingga berlakunya persetubuhan atau tidak. Penulisan beberapa ulama lain seperti al-Jaziri (1969) dan Ibn Qudamah (t.th) memberikan takrifan yang turut menjurus kepada khalwat antara pasangan suami istri. Selain itu, khalwat juga merujuk pasangan yang ajnabi (belum ada ikatan perkawinan) berdasarkan hadis Rasulullah yang bermaksud “Janganlah kamu bersunyi-sunyian dengan perempuan yang tidak halal bagi kamu karena sesungguhnya orang yang ketiga bagi mereka ialah syaitan.” (Sunan al-Tirmizi).[22]

Hukum Khalwat

Di Aceh, Mesum/khalwat merupakan salah satu perbuatan mungkar yang dilarang oleh Islam, dan bertentangan dengan adat istiadat yang berlaku dalam masyarakat karena perbuatan tersebut dapat menjerumuskan seseorang kepada perbuatan zina yakni hubungan intim di luar perkawinan yang sah. Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka dibentuk Qanun tentang larangan khalwat/mesum dalam penerapan Syari’at Islam secara Kaffah.

Larangan khalwat adalah pencegahan dini bagi perbuatan zina, larangan ini berbeda dengan jarīmah lain yang langsung kepada perbuatan itu sendiri, seperti larangan mencuri, minum khamar dan maisir. Larangan zina justru dimulai dari tindakan-tindakan yang mengarah kepada zina, hal ini mengindikasikan bahwa perbuatan zina terjadi disebabkan adanya perbuatan lain yang menjadi penyebab terjadinya zina.[23]

Perbuatan zina terjadi atau selalu diawali dengan perbuatan mendekati zina, seperti melihat, berbicara menyentuh, dan sebagainya, sebagaimana diterangkan oleh Nabi Saw. dalam hadis berikut ini, yang artinya: “Dari Abu Hurairah r.a, dari Nabi Saw, beliau bersabda: Sesungguhnya Allah telah menentukan terhadap anak Adam akan nasibnya dalam berzina, yang senantiasa pasti mengalaminya, zina mata adalah melihat, zina lisan adalah berbicara, zina hati adalah mengharap dan menginginkan dan hanya kelaminlah yang menentukan berbuat zina atau tidak”. (H.R. Bukhari)”

Islam dengan tegas melarang melakukan khalwat/mesum merupakan jalan atau peluang terjadinya zina, maka khalwat/mesum juga termasuk salah satu jarīmah (perbuatan pidana) dan diancam dengan ‘uqubat ta’zīr, sesuai dengan qaidah syar’iy yang artinya: “perintah untuk melakukan atau tidak melakukan suatu, mencakup prosesnya”. Dan sesuai dengan qaidah syar’iy lainnya yang artinya: “Hukum sarana sama dengan hukum tujuan”.[24]


BAB III

PENUTUP

A. Simpulan

Peminangan berasal dari kata “pinang” dengan kata kerja meminang. Sinonim meminang adalah melamar yang dalam bahasa Arab disebut dengan khitbah. Kata "khitbah" ini merupakan bentuk masdar dari kata خطب yang berarti meminang atau melamar. Ada dua syarat, yakni Syarat mustahsinah adalah syarat yang merupakan anjuran pada laki-laki yang hendak meminang agar meneliti wanita yang akan dipinangnya sebelum melangsungkan peminangan. Sedangkan, Syarat lazimah ialah syarat yang wajib dipenuhi sebelum peminangan dilakukan. Sah tidaknya peminangan tergantung pada adanya syarat-syarat lazimah.

Ulama berbeda pendapat dalam menentukan batasan yang boleh dilihat, yaitu: Mayoritas ulama berpendapat bahwa yang boleh dilihat adalah wajah dan kedua telapak tangan. Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa bagian yang boleh dilihat adalah wajah, telapak tangan, dan kaki. ‘Abdurrahman al-Awzai berpendapat bahwa boleh melihat daerah-daerah yang berdaging. Imam Daud az-Zahiri berpendapat bahwa seluruh badan wanita yang dipinang boleh dilihat. Menurut ulama Mazhab Hanbali bagian yang boleh dilihat terdapat pada 6 tempat, yaitu muka, pundak, kedua telapak tangan, kedua kaki, kepala (leher) dan betis.

Pengertian khalwat, Ibn ‘Abidin (1996) menyatakan bahwa Imam as-Syafii, Maliki, Hanbali dan Hanafi merujuk khalwat sebagai perhubungan suami yang bersekedudukan dengan istrinya sama ada hingga berlakunya persetubuhan atau tidak.

B. Kritik dan Saran

Demi kesempurnaan penyusunan makalah ini, penulis berharap kritik dan saran yang membangun dari pembaca.


DAFTAR PUSTAKA


Abdul Aziz Dahlan. 1996. Ensiklopedia Hukum Islam. Jakarta: Ichtiar Baru ban Hoeve.

Abdurrahman Al-Jaziri, Fiqh Madzahib al-Arba’ah, Juz IV. Beirut: Dar al-Kutub alIlmiah.

Abu Zahroh, Ahwalus Syahsiyah. Beirut: Dar Fikr.

Ahmad Warson Munawir, 1997. Kamus Arab Indonesia. Surabaya:Pustaka Progressif.

Ali Yafie. 1999. “Konsep-konsep Istihsan, istislah, dan maslahat Al-Ammah”, dalam Kontektualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah, Budhy Munawar (ed). Jakarta: Yayasan Paramadina.

Alyasa’ Abu Bakar. 2006. Hukum Pidana Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Banda Aceh: Dinas Syariat Islam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

Amir Syarifuddin. 2007. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia antara Fiqh Munakahat dengan Undang-undang Perkawinan. Jakarta: Kencana.

Departemen Agama RI. 1989. Al-Qur'an dan Terjemahnya, Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Penafsir Al-Qur'an, Jakarta.

Ibnu Hazm, Al-Muhalla. Beirut: Darul Fikr, t. t.,

Ibnu Rusyd. 1989. Bidayatu Al Mujtahid wa Muqtashid. Beirut: Dar al Fikr.

Ibnu Rusyd. 1990. Bidayatul Mujtahid Analisa Fiqh Imam Mujtahid, Jilid 2 (terjemah), Semarang: Asy-Syifa.

Kamal Muchtar. 1974. Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan, Cet. I, Jakarta : Bulan Bintang.

Muclis Usman. 1999. Kaidah-kaidah Ushuliyyah dan Fiqhiyah Pedoman Dasar Dalam Istimbat Hukum Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. cet. Ke 3.

Muhammad Abu Zahroh. 1957. al-Ahwalu Asyakhsiah. Mesir: Darul Fikri al-Arobi.

Muhammad Isma’il an-San’ani, Subulus Salam, Juz. III, Beirut: Dar Kutub, t. th

Noor ‘Ashikin Hamid, dkk. 2015. Khalwat Dalam Kalangan Remaja Di Malaysia Dan Aceh: Kajian Terhadap Pematuhan Syariah. Terengganu: Fakulti Undang-undang dan Hubungan Antarabangsa, Universiti Sultan Zainal Abidin Malaysia.

Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah. Juz II, Al-Fatkhu lil I’lam al-‘Araby, t. t.

Sayyid Sabiq. 1980. Fikih Sunnah. Terjemah Mahyudin Syaf, Jilid 6, Bandung: PT. Al Ma’arif.

Teungku Muhammad Hasby ash Shiddieqy. 2005. Koleksi Hadits-Hadits Hukum. Jilid 8. Semarang: Pustaka Rizki Putra.

Tim Penyusun IAIN Syarif Hidayatullah. 1992. Ensiklopedi Islam Indonesia. Jakarta: Penerbit Djambatan.

Wahbah al-Zuhaily. 1984. al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu. juz III. Damsyiq: Dar al-Fikr.





Footnote:

[1] Ahmad Warson Munawir, Kamus Arab Indonesia, (Surabaya:Pustaka Progressif, 1997), hal. 394.

[2] Tim Penyusun IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia, (Jakarta: Penerbit Djambatan, 1992), hal. 555-556.

[3] Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, (Damsyiq: Dar al-Fikr, 1984), juz III, hal. 10. (File PDF)

[4] Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Alih Bahasa, Moh Thalib, (Bandung: Pt. Al – Ma’arif, 1990), hal. 31.

[5] Muhammad Abu Zahroh, al-Ahwalu Asyakhsiah, (Mesir: Darul Fikri al-Arobi, 1957), hal. 19. (File PDF)

[6] Departemen Agama RI, Al-Qur'an dan Terjemahnya, Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Penafsir Al-Qur'an, Jakarta. 1989, hal. 644.

[7] Muhammad Isma’il an-San’ani, Subulus Salam, Juz. III, (Beirut: Dar Kutub, t. th.), hal. 220. (File PDF)

[8] Abu Zahroh, Ahwalus Syahsiyah, (Beirut: Dar Fikr, t. th.), hal. 34. (File PDF)

[9] Ibnu Hazm, Al-Muhalla, (Beirut: Darul Fikr, t. t.,) hal. 34. (File PDF)

[10] Sayid Sabiq, Fiqh Sunnah, Juz II, Al-(Fatkhu lil I’lam al-‘Araby, t. t.,), hal. 140. (File PDF)

[11] Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia antara Fiqh Munakahat dengan Undang-undang Perkawinan, (Jakarta: Kencana, 2007), hal 38.

[12] Abdurrahman Al-Jaziri, Fiqh Madzahib al-Arba’ah, Juz IV, (Beirut: Dar al-Kutub alIlmiah, , t. th.), hal. 13-15. (File PDF)

[13] Ibnu Rusyd, Bidayatu Al Mujtahid wa Muqtashid, (Beirut: Dar al Fikr, 1989), jilid 2, cet I, hal. 395. (File PDF)

[14] Muclis Usman, Kaidah-kaidah Ushuliyyah dan Fiqhiyah Pedoman Dasar Dalam Istimbat Hukum Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1999), cet. Ke 3, hal. 15.

[15] Kamal Muchtar, Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan, Cet. I, (Jakarta : Bulan Bintang, 1974), hal. 28.

[16] Teungku Muhammad Hasby ash Shiddieqy, Koleksi Hadits-Hadits Hukum, Jilid 8, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2005), hal. 16.

[17] Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Jilid 2 (terjemah), (Semarang: Asy-Syifa, 1990), Cet. 1, hal. 352.

[18] Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, Terjemah Mahyudin Syaf, Jilid 6, (Bandung: PT. Al Ma’arif , 1980), hal. 38.

[19] Muhammad Abi Zahrah, Al-Ahwal Asy- Syakhshiyah, hal. 31-32. (File PDF)

[20] Adapun mahram di dalam Al-Qur’an adalah ibu, anak perempuan, saudara perempuan, saudara bapak yang perempuan, saudara ibu yang perempuan, anak perempuan dari saudara laki-laki, anak perempuan dari saudara perempuan, ibu yang menyusui, saudara perempuan sepersusuan, mertua, anak perempuan tari yang ibunya telah digauli, menantu (istri anak kandung), dan saudara kandung istri (QS. 4. 23).

[21] Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam (Jakarta: Ichtiar Baru ban Hoeve, 1996), hal. 900.

[22] Noor ‘Ashikin Hamid, dkk, Khalwat Dalam Kalangan Remaja Di Malaysia Dan Aceh: Kajian Terhadap Pematuhan Syariah, (Terengganu: Fakulti Undang-undang dan Hubungan Antarabangsa, Universiti Sultan Zainal Abidin Malaysia, 2015), hal. 303.

[23] Alyasa’ Abu Bakar, Hukum Pidana Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, (Banda Aceh: Dinas Syariat Islam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2006), hal. 48.

[24] Ali Yafie, “Konsep-konsep Istihsan, istislah, dan maslahat Al-Ammah”, dalam Kontektualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah, Budhy Munawar (ed) (Jakarta: Yayasan Paramadina, 1999), hal. 89.




1 komentar:

  1. Hi brides & grooms to be, lagi cari gedung utk acara pernikahan di Kota Bandung? Gedung HIS Balai Sartika Convention Hall bisa jadi pilihan kamu loh karena sekarang udh full carpet & lampu chandelier. Selain itu HIS Balai Sartika Convention Hall juga menyediakan paket pernikahan yang fleksibel dan pilihan vendornya ada banyak banget, bisa pilih sesuai keinginan kamu. Ohya, sekarang lagi ada promo menarik juga loh yaitu CASHBACK dan HONEYMOON PACKAGE! Untuk informasi lengkapnya, hubungin aja Tresna (+6281312214233), FREE KONSULTASI!!

    BalasHapus

Previous Posting Lebih Baru
Makalah Peminangan (Khitbah) dan Khalwat