Makalah Talak Sharih dan Talak Kinayah

DOWNLOAD FULL TEXT
PDF / WORD



PENDAHULUAN


A. Latar Belakang

Konsep talak dalam agama Islam adalah sesuatu yang halal namun dibenci Allah. Secara subtansial perceraian merupakan alternatif terakhir yang ditempuh suami maupun isteri, bila ikatan pernikahan tidak dapat dipertahankan keutuhannya, setelah upaya maksimal untuk mengantisipasi agar jangan terjadi perceraian.[1] Perceraian diperbolehkan agama karena dipandang sebagai solusi penyelesaian konflik yang baik, dan akan menghentikan konflik yang lebih dalam dan berkepanjangan. Sehingga perceraian tidak dipandang sebagai kerusakan (mafsadah), namun dipandang sebagai kemaslahatan (bagi para pihak). Jika cerai lebih baik (maslahah), maka cerai harus ditempuh agar tidak terjerumus pada kerusakan, seperti percekcokan yang terus-menerus dan munculnya tindak kekerasan, serta mengganggu psikologis anak-anaknya.[2]

Dalam fiqh dikenal ada dua macam ucapan talak, yaitu sarih dan kinayah. Namun Undang-undang di Indonesia tidak memungkinkan seorang suami mentalak dengan cara kinayah karena talak dilakukan di depan sidang. Jadi ucapannya harus sarih atau tegas. [3] Talah sharih merupakan talak yang diucapkan dengan jelas dan mudah dipahami orang lain. Sedangkan talak kinayah merupakan talak yang diucapkan dengan sindiran, jadi perlu penafsiran untuk mengetahui makna yang sebenarnya. Namun berbeda dengan dengan perceraian dalam hukum positif yang menyatakan perceraiannya itu terjadi terhitung pada saat itu dinyatakan di depan sidang Pengadilan.[4]

Maka dari itu, kiranya penting bagi kita untuk mengetahui tentang talak, macam-macam talak dilihat dari segi pengucapannya, dan hukum serta dampaknya sehingga tidak timbul kesalahpahaman yang berakibat terjadinya putusnya perkawinan seseorang.

B. Rumusan Masalah

Dari latar belakang di atas, maka kami tarik beberapa rumusan masalah, yaitu:

1. Apakah yang dimaksud talak?

2. Apakah yang dimaksud talak dilihat dari sighat (ucapan)?

3. Apakah yang dimaksud talak dilihat isyarat?

4. Apakah yang dimaksud talak dilihat tulisan?



TALAK SARIH DAN KINAYAH


A. Pengertian Talak

Pengertian talak menurut bahasa adalah melepas ikatan. Sedangkan menurut istilah adalah melepas ikatan pernikahan dengan sighat atau sesamanya. Batas talak bagi suami merdeka (bukan hamba sahaya) adalah 3 kali talakan. Perceraian atau talak adalah perbuatan yang diperbolehkan namun tidak disenangi oleh Allah SWT.[5]

أَبْغَضُ الْحَلَالِ إلَى الله تعالى الطَّلَاقُ. رواه أبو داود

Artinya: “Perkara halal yang paling dibenci Allah adalah cerai.” (HR. Abu Dawud)

Adapun rukun-rukun talak yaitu: Muthalliq (suami yang menceraikan)[6], Mahall (Objek talak)[7], Qashdu (kesengajaan mentalak), Memiliki wilayah (kuasa) untuk metalak, dan Sighat.

Dalam hal kata-kata talak, terdapat dua persoalan yaitu kata-kata talak mutlak dan talak muqoyyad (terbatas). Berikut penjelasannya:[8]

1. Kata-kata talak mutlak

Ulama sepakat bahwa satu talak dapat terjadi, apabila disertai dengan niat dan menggunakan kata-kata tegas. Akan tetapi mereka berbeda pendapat tentang: apakah talak dapat terjadi dengan niat dan kata-kata yang tidak tegas, atau hanya semata-mata dengan niat tanpa kata-kata, atau hanya kata-kata semata tanpa niat?

Bagi fuqoha yang mensyaratkan niat dan kata-kata yang tegas pada talak, maka dasar mereka karena mengikuti syara’ secara zahir-nya. Begitu juga fuqoha yang yang mempersamakan kata-kata zahir (kata-kata yang menurut lahirnya menunjukkan talak) dengan kata-kata yang tegas.

Sedangkan fuqoha yang mempersamakan talak dengan akad (perjanjian) pada nazar atau sumpah, mereka mengharuskan adanya niat semata pada talak. Bagi fuqoha yang memberlakukan perkiraan kata-katanya, mereka mencukupkan terjadinya talak hanya dengan kata-kata saja.

2. Kata-kata talak muqoyyad

Kata-kata talak terbatas (muqoyyad) terdiri atas dua macam, yaitu kadang-kadang berupa pembatasan dengan kata-kata syarat, dan terkadang dengan pilihan kata-kata pengecualian (istisna). Misalnya taklik talak.

Pembatasan bersyarat kadang digantungkan pada kehendak orang yang mempunyai pilihan, atau kepada adalah satu dari perbuatan-perbuatan yang akan datang, atau pada munculnya sesuatu yang belum diketahui menjadi terwujud, seperti yang dikatakan oleh orang yang mena’likan talak, yakni hanya sesuatu yang hanya bisa diketahui setelah dapat dicapai oleh indera, atau sesudah keluar menjadi wujud, atau digantungkan pada sesuatu yang tidak ada cara untuk mengetahui dapat terjadi atau tidaknya, sedangkan sesuatu itu termasuk hal yang mungkin terjadi.



B. Hukum Talak dilihat dari Sighat (Ucapan)

Dilihat dari sighat (ucapan) talak terbagi menjadi dua, yaitu:

1. Sharih (kata-kata yang tegas)

Ucapan suami kepada istri dilakukan dengan bahasa tegas dan jelas[9] yang menunjukkan cerai.[10] Maksudnya sebuah sighat yang tidak mungkin diarahkan kepada makna selain makna talak. Cerai itu jatuh jika seseorang telah mengucapkan dengan sengaja walaupun hatinya tidak berniat mencerai istrinya,[11] Sebagaimana perkataan suami terhadap isterinya: “Saya ceraikan engkau,[12] Kamu tertalak / isteriku tertalak / kamu saya ceraikan”. Jenis sighat talak sharih ini berkonsekuensi terjadinya talak meskipun tidak ada niat mentalak.

Imam Malik dan pengikutnya berpendapat bahwa kata-kata talak yang tegas hanyalah kalimat, “talak” saja, maka selain kata itu termasuk sindiran. Sindiran ini menurut Imam Malik juga ada dua macam, yaitu:

a. Kata-kata zahir (yang menurut lahirnya berarti talak)

b. Kata-kata muhtamil (yang mempunyai kemungkinan berarti talak.

Pendapat semacam ini juga dikemukakan oleh Imam Abu Hanifah.[13] Sedangkan menurut pendapat Imam Syafi’i, pelaksanaan talak dengan baik dengan ucapan yang tegas (sharih) dan sindiran (kinayah) ini dengan ketentuan di bawah ini.[14]


Talak Sharih

1    Tidak butuh disertai dengan niat

2    Menggunakan salah satu dari kata tiga kata, yaitu thalaq (menceraikan), firaq (memisahkan), dan sarah (melepaskan status)

Talak Kinayah

1    Butuh disertai dengan niat 

2     Menggunakan lafaz yang punya indikasi mendekati arti perpisahan namun tidak familiar penggunaannya secara syariat dan kebiasaan untuk dijadikan bahasa talak. [15]


Sebagian ahli zahir berkata bahwa tidak terjadi talak kecuali dengan menggunakan ketiga kata tersebut, sebab agama hanya menyebutkan ketiga kata tersebut. Karena talak merupakan ibadah, maka salah satu syarat sahnya adalah dengan menggunakan kata-kata yang sudah disebutkan oleh agama saja.

2. Kinayah (kata-kata yang tidak tegas/sindiran)

Ucapan suami dengan kata-kata tidak jelas kepada istri,[16] tetapi mengandung makna cerai.[17] Maksudnya sebuah sighat yang bisa diarahkan terhadap makna talak dan lainnya. Cara ini perlu disertai dengan niat.[18] Sebagaimana perkataan suami terhadap istrinya: “Kembalilah kamu ke orang tuamu” (mungkin saja yang dikehendaki talak atau sekedar perintah pulang ke rumah orang tua istri karena ada maksud lain). Ucapan talak di atas mengandung kemungkinan cerai kalau disertai dengan niat dan mengandung kemungkinan lain jika tidak ada niat.[19] Konsekuensi dari sighat kinayah adalah tidak akan jatuh talak kecuali ada niat untuk mentalak.

Dalam kata-kata yang tidak tegas/sindiran, namun menurut Imam Malik ada dua macam, yaitu:

a. Kata sindiran yang terang (al-kinayah al-dhohir)

b. Kata sindiran yang mengandung kemungkinan (al-kinayah al-muhamalah)

Imam Malik berpendapat bahwa, apabila suami mengaku dengan kata-kata sindiran yang terang ia menghendaki talak, maka kata-katanya tidak diterima. Kecuali kalau terdapat tanda-tanda qorinah yang menunjukkan demikian.

Pendapat Imam Syafi’i tentang kata-kata sindiran yang terang adalah bahwa, hal itu didasarkan atas apa yang diniatkan. Jika ia meniatkan talak, maka talak pun telah terjadi. Kemudian jika ia meniatkan satu talak, maka talak satu pun terjadi. Dalam hal itu kata-kata suami dapat dibenarkan.

Imam Abu Hanifah[20] berpendapat bahwa, talak dapat terjadi dengan semua kata-kata kinayah apabila disertai dengan qorinah.

Berkenaan dengan kata-kata kinayah yang terang, maka terdapat tiga pendapat:


Imam Syafi’i :

Kata-kata tersebut dibenarkan

Imam Malik :

Tidak dibenarkan sama sekali, kecuali terdapat qrinah yang menunjukkan demikian

Imam Abu Hanifah :

Tidak dibenarkan, kecuali jika berada dalam perbincangan tentang talak.

Jumhur Ulama :

Tidak berisi apapun meskipun diniatkan ditalak. 


Berikut ini dalil talak dengan pernyataan sindiran adalah hadis yang dirawikan oleh Al-Bukhari dari ‘Aisyah r.a yang menuturkan:

أنَّ ابْنَةَ الْجَوْنِ الْكِلَابِيَّةَ لَمَّا اُدْخِلَتْ عَلَى رَسُولِ الله صلى الله عليه وسلم وَدَنَا مِنْهَا, قَالَتْ: أعُوذُ بِاللهِ مِنْكَ. فَقَالَ لَهَا: لَقَدْ عُذْتِ بِعَظِيمٍ, الْحَقِى بِأهْلِكِ

Dari ‘Aisyah r.a. bahwasannya anak perempuan Al-Jaun Al-Kilabiyyah ketika dipertemukan dengan Rasulullah Saw. dan beliau mendekatinya, ia berkata (kepada beliau) “Aku berlindung kepada Allah darimu (Rasul)”. Rasulullah Saw. lalu berkata: “Sungguh, engkau telah berlindung kepada Zat Yang Maha Agung. Kembalilah kepada keluargamu”.

Dengan ucapan tersebut, Rasulullah Saw. menginginkan perceraian. Terkait hal ini Rasulullah Saw. berkata kepada Abu Usaid r.a.:

اُكْسُهَا رَازِقِيَّتَينِ , وَالْحِقْهَا بِأهلِهَا

“Pakaikanlah ia dengan dua kain panjangberwarna putih (raziqiyyah). Lalu kembalikanlah ia kepada keluarganya.” (Al-Bukhari, At-Thalaq, hadis no. 4955, 4956)

Menurut kalangan Hanafiyyah mengatakan, sesungguhnya kata-kata dengan kinayah tergantung pada niatnya, bisa untuk zhihar[21] atau talak [22]. Tetapi kalau untuk kedua-duanya ada perbedaan pendapat:[23]

1. Hanya berlaku untuk satu, mana yang lebih dikuatkan (talak atau zhihar)

2. Menurut madzhab Syafi’i boleh untuk kedua-duanya.

C. Hukum Talak dengan Isyarat

Pembahasan tentang talak dengan isyarat ini tidak lepas dari dua hal berikut:[24]

1. Isyarat bagi orang bisu

Isyarat bagi orang bisu sebagai alat berkomunikasi. Ia menempati lafal dalam menjatuhkan talak. Jika ia memberi isyarat yang menunjuk pada maksudnya yaitu menghentikan hubungan pasangan suami istri dan semua orang paham, maka itu talak sharih (jelas). Jika isyarat itu tidak dapat dipahami melainkan orang-orang cerdas saja, ada dua pendapat; adakalanya sharih dan adakalanya kinayah.

Sebagian ulama mensyaratkan adanya isyarat apabila orang bisu itu tidak mengetahui tulisan dan tidak mampu menulis. Jika ia mengetahui dan mampu menulis, tidak boleh menggunakan isyarat karena tulisan lebih menunjukkan apa yang dimaksud dirinya, maka tidak boleh pindah kepada tulisan kecuali terpaksa karena tidak ada kemampuan.

Para fuqoha telah bersepakat bahwa cerai dapat terjadi dengan melakukan isyarat yang bisa dipahami dengan menggunakan tangan ataupun kepala, yang biasa dilakukan ketika seseorang tidak mampu berbicara, seperti orang bisu, untuk memenuhi kebutuhan.[25]

2. Isyarat bagi orang yang dapat bicara

Ulama berbeda pendapat tentang isyarat orang yang dapat bicara. Pertama, isyarat talak dari orang yang dapat bicara tidak sah talaknya, karena isyarat yang diterima dan menempati ucapan bagi haknya orang bisu diposisikan karena darurat, sedangkan di sini tidak ada darurat. Perpindahan orang yang dapat berbicara dari ucapan ke isyarat dipahami tidak bertujuan talak dan jika bertujuan tersebut sangat langka bermaksud memberi pemahaman. Kedua, isyarat bagi orang yang dapat berbicara dikategorikan talak sindiran (kinayah) karena secara global memberi pemahaman talak.

D. Talak dengan Tulisan

Talak dapat terjadi dengan tulisan walaupun penulis mampu berkata-kata. Sebagaimana suami boleh menalak istri dengan lafal atau ucapan, ia juga boleh menalak dengan tulisan.

Fuqoha’ mensyarat bahwa tulisan itu hendaknya jelas dan terlukis. Maksudnya jelas adalah jelas tulisannya sehingga terbaca ketika ditulis di lembaran kertas dan sesamanya. Maksudnya terlukis, tertulis ke alamat istri.

Ulama Syafi’iyyah berbeda pendapat tentang terjadinya talak dengan tulisan disertai niat, yakni ada dua pendapat: pertama, sebagaimana yang tertulis dalam kitab al-umm, bahwa talak tersebut terjadi karena tulisan itu terdiri dari beberapa huruf yang dipahami bermakna talak, boleh talak dengan tulisan seperti talak dengan ucapan. Kedua, tidak terjadi talak seperti dengan isyarat. [26]



PENUTUP

A. Simpulan


Pengertian talak menurut bahasa adalah melepas ikatan. Sedangkan menurut istilah adalah melepas ikatan pernikahan dengan sighat atau sesamanya.

Imam Malik dan pengikutnya berpendapat bahwa kata-kata talak yang tegas hanyalah kalimat, “talak” saja, maka selain kata itu termasuk sindiran. Pendapat semacam ini juga dikemukakan oleh Imam Abu Hanifah. Sedangkan menurut pendapat Imam Syafi’i, pelaksanaan talak dengan baik dengan ucapan yang tegas (sharih) dan sindiran (kinayah) ini dengan ketentuan di bawah ini.

Talak Sharih

1    Tidak butuh disertai dengan niat

2    Menggunakan salah satu dari kata tiga kata, yaitu thalaq (menceraikan), firaq (memisahkan), dan sarah (melepaskan status)

Talak Kinayah

1    Butuh disertai dengan niat 

2     Menggunakan lafaz yang punya indikasi mendekati arti perpisahan namun tidak familiar penggunaannya secara syariat dan kebiasaan untuk dijadikan bahasa talak.

Berkenaan dengan kata-kata kinayah yang terang, maka terdapat tiga pendapat:

Imam Syafi’i :

Kata-kata tersebut dibenarkan

Imam Malik :

Tidak dibenarkan sama sekali, kecuali terdapat qrinah yang menunjukkan demikian

Imam Abu Hanifah :

Tidak dibenarkan, kecuali jika berada dalam perbincangan tentang talak.

Jumhur Ulama :

Tidak berisi apapun meskipun diniatkan ditalak.


Jika ia memberi isyarat yang menunjuk pada maksudnya yaitu menghentikan hubungan pasangan suami istri dan semua orang paham, maka itu talak sharih (jelas). Jika isyarat itu tidak dapat dipahami melainkan orang-orang cerdas saja, ada dua pendapat; adakalanya sharih dan adakalanya kinayah.

Ulama Syafi’iyyah berbeda pendapat tentang terjadinya talak dengan tulisan disertai niat, yakni ada dua pendapat: pertama, sebagaimana yang tertulis dalam kitab al-umm, bahwa talak tersebut terjadi karena tulisan itu terdiri dari beberapa huruf yang dipahami bermakna talak, boleh talak dengan tulisan seperti talak dengan ucapan. Kedua, tidak terjadi talak seperti dengan isyarat.





DAFTAR PUSTAKA



Abdul Djamali, Hukum Islam (Asas-asas, Hukum Islam I, Hukum Islam II). Bandung: Bandar Maju.

Abidin, Slamet. dkk. 1990. Fiqih Munakahat II. Bandung: CV Pustaka Setia.

Al Ashfahani, Abi Syuja’ Ahmad. 1995. Terjemah Matan Ghoya wat Taqrib. Jakarta: Pustaka Amani.

Al-Bugha, Musthafa Dib. 2012. Ringkasan Fiqh Madzhab Syafi’i Penjelasan Kitab Matan Abu Syuja’ dengan Dalil Al-Qur’an dan Hadis. Jakarta: Noura Books (PT. Mizan Pustaka).

al-Damasiqy, Imam Taqiyyudin Abi Bakr.1978. Kifayatul Akhyar. Semarang: CV. Toha Putra Semarang.

Azzam, Abdul Aziz Muhammad, dkk. 2009. Fiqh Munakahat: Kitbah, Nikah, dan Talak. Jakarta: AMZAH.

H. Sulaiman Rasjid. 2007. Fiqih Islam. Bandung: Sinar Baru Algensindo.

Hadi, Abdul. 2015. Fiqh Munakahat. Semarang: CV. Karya Jaya Abadi.

Ibnu Rusyd. Bidayatul Mujtahid Wanihayatul Muqtasyid. Beirut, Libanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyah.

Moh. Rifa’i. 1978. Ilmu Fiqih Islam Lengkap. Semarang: Karya Toha.

Saifullah, Muhammad. 2015. Efektivitas Mediasi dalam Menyelesaikan Perkara Perceraian di Pengadilan Agama Jawa Tengah, dalam Jurnal Al-Ahkam Fakultas Syariah UIN Walisongo Semarang, Vol. 25, No. 2 Oktober 2015.

Sayyid Sabiq. 2009. Fikih Sunnah, jilid 4. Jakarta: Cakrawala.

Subekti, R. 1990. Ringkasan tentang Hukum Keluarga dan Hukum Waris. Jakarta: Intermasa

Sudarsono. 1992. Pokok-pokok Hukum Islam. Jakarta: Rineka Cipta.

Syar’i, Makmun. 2015. Reformulasi Hukum Talak di Luar Pengadilan, dalam Jurnal Madzahib, Vol. XIV, No. 1 Juni 2015.

Team Kajian Ilmiah Ahla Shuffah 103. 2014. Kamus Fiqh. Kediri: LIRBOYO Press.

Tim Pembukuan ANFA’. 2015. Menyingkap Sejuta Permasalahan dalam Fath al-Qarib. Kediri: Anfa’ Press.

Wahbah as-Zuhaily. 2011. Fiqh Islam wa Adilatuhu, terj. Abdul Hayyie al-Kantani dkk., Jilid 9. Jakarta: Gema Insani.



Footnote :

[1] Makmun Syar’i, “Reformulasi Hukum Talak di Luar Pengadilan”, dalam Jurnal Madzahib, Vol. XIV, No. 1 Juni 2015, hal. 66.

[2] Muhammad Saifullah, “Efektivitas Mediasi dalam Menyelesaikan Perkara Perceraian di Pengadilan Agama Jawa Tengah”, dalam Jurnal Al-Ahkam Vol. 25, No. 2 Oktober 2015, hal. 193-194.

[3] Abdul Hadi, Fiqh Munakahat, (Semarang: CV. Karya Jaya Abadi, 2015), hal. 158.

[4] R. Subekti, Ringkasan tentang Hukum Keluarga dan Hukum Waris, (Jakarta: Intermasa, 1990), hal. 11.

[5] Team Kajian Ilmiah Ahla Shuffah 103, Kamus Fiqh, (Kediri: LIRBOYO Press, 2014) cet. II, hal. 420.

[6] Syarat seorang Muthalliq (suami yang menceraikan) yaitu Mukallaf (tertuntut hokum syariat) dan Al-ikhtiar (sesuai inisiatif sendiri, jika dipaksa maka tidak sah)

[7] Syarat objek talak adalah harus merupakan isteri yang masih memiliki ikatan pernikahan dengan suaminya meskipun secara hukmy saja (memiliki potensi untuk kembali ke dalam ikatan pernikahan) sebagaimana isteri yang ditalak raj’i sebelum masa iddah-nya habis. Dengan demikian tidak sah mentalak perempuan yang tidak memiliki ikatan pernikahan dengan muthalliq, sebaimana isteri yang ditalak raj’i setelah masa ‘iddah-nya habis.

[8] Slamet Abidin, dkk, Fiqih Munakahat II, (Bandung: CV Pustaka Setia, 1999), hal. 58-59.

[9] Abdul Djamali, Hukum Islam (Asas-asas, Hukum Islam I, Hukum Islam II), (Bandung: Bandar Maju, T.th), hal. 95.

[10] Sudarsono, Pokok-pokok Hukum Islam, (Jakarta: Rineka Cipta: 1992), hal. 262.

[11] Moh. Rifa’i, ilmu Fiqih Islam Lengkap, (Semarang: Karya Toha, 1978), hal. 483.

[12] H. Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2007), hal. 403.

[13] Slamet Abidin, dkk, Fiqih Munakahat II, (Bandung: CV Pustaka Setia, 1999), hal. 58-59.

[14] Musthafa Dib Al-Bugha, Ringkasan Fiqh Madzhab Syafi’i Penjelasan Kitab Matan Abu Syuja’ dengan Dalil Al-Qur’an dan Hadis, (Jakarta: Noura Books (PT. Mizan Pustaka), 2012), Hal. 460-461.

[15] Tim Pembukuan ANFA’, Menyingkap Sejuta Permasalahan dalam Fath al-Qarib, (Kediri: Anfa’ Press, 2015), hal. 528.

[16] Abdul Djamali, Hukum Islam (Asas-asas, Hukum Islam I, Hukum Islam II), (Bandung: Bandar Maju, T.th), hal. 95.

[17] Sudarsono, Pokok-pokok Hukum Islam, (Jakarta: Rineka Cipta: 1992), hal. 262.

[18] Musthafa Dib Al-Bugha, Ringkasan Fiqh Madzhab Syafi’i Penjelasan Kitab Matan Abu Syuja’ dengan Dalil Al-Qur’an dan Hadis, (Jakarta: Noura Books (PT. Mizan Pustaka), 2012), Hal. 461.

[19] Ibnu Rusyid, Bidayatul Mujtahid Wanihayatul Muqtasyid, (Beirut, Libanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, t.th.), hal. 378

[20] Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, jilid 4, (Jakarta: Cakrawala, 2009), hal. 20-21.

[21] Dzhihar, menurut Imam Syafi’i itu adalah manakala seorang laki-laki berkata kepada isterinya, “Engkau ini bagiku seperti punggung ibuku.”

[22] Abi Syuja’ Ahmad Al Ashfahani, Terjemah Matan Ghoya wat Taqrib, (Jakarta: Pustaka Amani, 1995) cet. I, hal. 110.

[23] Taqiyuddin Abi Bakr al-Damsiqy, Kifayatul Akhyar, (Semarang: CV. Toha Putra Semarang, 1978) hal 311 – 312.

[24] Abdul Aziz Muhammad Azzam, dkk, Fiqh Munakahat: Kitbah, Nikah, dan Talak. (Jakarta: AMZAH, 2009), hal. 271-272.

[25] Wahbah as-Zuhaily, Fiqh Islam wa Adilatuhu, terj. Abdul Hayyie al-Kantani dkk., Jil. 9 (Jakarta: Gema Insani, 2011), hal. 341-342.

[26] Abdul Aziz Muhammad Azzam, dkk, Fiqh Munakahat: Kitbah, Nikah, dan Talak. (Jakarta: AMZAH, 2009), hal. 272-273.




5 komentar:

  1. bagus usahanya. teruskan mengupdate artikle2 baru

    BalasHapus
  2. Lantas yg mana yg harus dipegang teguh antara pendapat imam syafi'i,imam malik,dan imam abuhanifah,,,mohon penerangannyap

    BalasHapus
  3. Punya istri kamu seperti tidak punya istri''mendingan pisah aja''apa itu sdh jatuh talaq?…

    BalasHapus
  4. Aku pisah sama kamu dan hidup sendiri ya berani,,apakah itu jg sdh jatuh talaq?…mohon

    BalasHapus
  5. Pertanyaan : apakah bisa dikatakan jatuh talak apabila seorang suami mengucapkan kata-kata, “aku ikhlas dan redho dunia akhirat kalau kamu ingin melakukan pernikahan bersama orang lain,” tegasnya. Yang jadi pertanyaan apakah hal tersebut merupakan jatuhnya talak kinnayah?? Terima kasih

    BalasHapus

Makalah Talak Sharih dan Talak Kinayah